Rabu, 26 Agustus 2009

Kemiskinan sebabkan perdagangan anak tinggi
Friday, 31 July 2009

Kasus perdagangan (trafficking) anak di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir terus meningkat. Namun hanya 10 persen kasus perdagangan anak yang sampai ke pengadilan. Data dari International Organization for Migration (IOM) hingga April 2006 menunjukkan

Kemiskinan sebabkan perdagangan anak tinggi





JAKARTA - Kasus perdagangan (trafficking) anak di Indonesiadalam sepuluh tahun terakhir terus meningkat. Namun hanya 10 persen kasus perdagangan anak yang sampai ke pengadilan. Data dari International Organization for Migration (IOM) hingga April 2006 menunjukkan perdagangan manusia di Indonesia mencapai 1.022 kasus.

"Akar permasalahannya, transisi ekonomi dan kemiskinan. Saat ini lahan pertanian di desa yang digarap masyarakat hanya 34 persen. Hal inilah yang membuat keluarga-keluarga di desa beralih meninggalkan pertanian dan memilih menjadi tenaga kerja," tegas mantan Sekretaris Nasional Satgas Penghapus-an Perdagangan Perempuan dan Anak, Tb Rachmat Sentika, Sabtu [25/7].

Ironisnya lagi, ujar dia, banyak keluarga di desa yang senang mempunyai anak perempuan karena mereka tidak perlu disekolahkan tinggi-tinggi. Anak perempuan dapat dieksploitasi.

Menurutnya, fakta perdagangan orang dapat dilihat dari beberapa factor, diantaranya tingginya kawin muda. Di daerah pantura misalnya, 42,7 persen perempuan menikah di bawah usia 15 tahun. Selain itu, menjadi tenaga kerja wanita dan sepertiganya anak-anak.

Faktor lainnya, tambah Rachmat, masih cukup banyak anak perempuan yang droup out. Program wajib belajar yang dicanangkan Depdiknas belum 100 persen tuntas, melainkan baru tuntas 60 persen.

Kondisi-kondisi tersebut, lanjut Rachmat diperparah lagi dengan belum terlaksananya dengan baik implementasi kebijakan nasional penghapusan perdagangan anak di kabupaten/kota.

Menurutnya, peran pemerintah kabupaten/kota belum optimal karena lemahnya dukungan sumber daya, terjadi-nya transformasi struktural, tingginya kemiskinan dan belum responsifnya kepemimpinan pemerintah daerah pada perdagangan anak. Akibatnya jumlah korban perdagangan anak terus meningkat.

Sementara itu, AKBP Sundari dari Bareskrim Polri menjelaskan, masih sedikitnya kasus perdagangan anak yang ditangani kepolisian karena banyak korban yang enggan melapor ke polisi. "Para korban ini enggan melaporkan ke polisi karena rata-rata hak-hak mereka sudah dipenuhi di selter-selter," ujarnya.

Dia menghimbau, ke depan pemerintah perlu membuat satu nomor KTP dan satu registrasi, serta akte kelahiran. Nomor registrasi dan akte kelahiran dapat mengurangi terjadinya pemalsuan KTP dan pemalsuan paspor.

"Polri sendiri telah membentuk unit pelayanan perempuan dan anak yang salah satunya untuk menangani masalah perdagangan anak, yakni 3000 buah pusat layanan terpadu dan 36 RS Bayangkari," ujarnya. (ari)


http://www.bpplsp-reg-1.go.id/read.php?id=162&PHPSESSID=47740b9a7f5233d0e851b523b030f27a